MAKALAH SEMANTIK: “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.”
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
mempelajari ilmu bahasa, ada empat komponen penting dalam sebuah pembelajaran
bahasa yang harus diketahui dan dipelajari oleh para pelajar yang tengah
mendalami ilmu bahasa. Empat komponen tersebut adalah fonologi, morfologi,
sintaksis dan semantik. Dari keempat cabang ilmu tersebut dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu tata bahasa (gramatika) atau struktur bahasa dan di
luar gramatika atau di luar struktur bahasa. Cabang ilmu bahasa yang mencakup
tata bahasa atau struktur bahasa (gramatika) adalah morfologi dan sintaksis.
Morfologi mempelajari tentang seluk-beluk kata sedangkan sintaksis mempelajari
bagian yang lebih besar dari kata yaitu frasa, klausa, dan kalimat.
Cabang
ilmu bahasa yang tidak termasuk pada struktur bahasa adalah fonologi dan
semantik. Fonologi adalah sebuah cabang ilmu bahasa yang meneliti fonem atau
bunyi-bunyi bahasa. Sedangkan semantik adalah sebuah ilmu bahasa yang
mempelajari tentang makna, baik makna kata, makna frausa, makna klausa, makna
kalimat, maupun makna wacana sebagai satuan bahasa yang lengkap.
Dalam
mata kuliah semantik mencakup pembahasan tentang teori semantik secara umum dan
sistem makna bahasa Indonesia. Adapun keseluruhan bahasan dalam ilmu semantik sebagai
berikut; hakikat makna kalimat, cakupan studi semantik, ragam makna, struktur
makna leksikal, relasi makna, perubahan makna leksikal, dan makna dan
penggunaan bahasa. Dalam makalah ini akan membahas tentang, “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur
Bahasa Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan
Bahasa dalam Bahasa Indonesia.”
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ragam Makna
Beberapa makna
kata dalam Bahasa Indonesia, menurut Chaer (1990:61-62) dapat dibedakan
berdasarkan beberapa sudut pandang. Makna kata berdasarkan semantiknya dapat
dibedakan makna leksikal dan makna gramatikal. Kalau makna kata didasarkan pada
referennya, dibedakan antara makna referensial dan nonreferensial. Bila
berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada kata/leksem, ada makna denotatif dan
konotatif, serta makna-makna kata yang lain. Berikut ragam makna yang dimaksud,
ialah :
2.1.1
Makna Leksikal
Pengertian makna leksikal ialah makna yang sesuai
dengan referennya, atau makna yang sesuai dengan fungsi alat indera. Misalnya,
kata tikus. Tikus memunyai makna leksikal sebangsa binatang pengerat yang dapat
menyebabkan penyakit pes. Makna tersebut Nampak jelas pada kalimat Tikus itu mati diterkam kucing. Adapun
tikus pada kalimat Tikus berkepala hitamlah yang mencuri minyak di gudang,
bukan merupakan makna leksikal kata, karena merujuknya pada manusia yang
perbuatannya mirip dengan tikus. Jadi, makna leksikal adalah gambaran nyata
tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata tersebut. Tanpa melihat
dari konteks kalimatnya, makna leksikal sudah sangat jelas dapat dipahami.
Tidak semua kata bermakna leksikal. Kata tugas seperti
dan, dalam, dan karena tidak memiliki makna leksikal, sebab hanya memiliki
tugas gramatikal.
2.1.2
Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang disebabkan adanya
proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Makna suatu kata baru dapat
dipahami bila berada dalam suatu konteks kalimat.
Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam
kalimat Batu seberat itu terangkat juga
oleh adik, memunyai makna “dapat”. Lain dengan kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas, menimbulkan
makna gramatikal “tidak disengaja”.Awalan ter- baru memiliki makna bila sudah
berproses dengan kata lain. Seperti contoh di atas, awalan ter- yang berproses dengan
kata “angkat” memiliki kemungkinan makna 1)
dapat dan 2) tidak disengaja.Kepastian
maknanya baru diperoleh bila ada dalam konteks kalimat (lihat contoh kalimat
sebelumnya). Dengan demikian, makna gramatikal selalu berkenaan dengan struktur
ketatabahasaan disebabkan proses dan satuan-satuan gramatikal.
Proses reduplikasi atau pengulangan merupakan makna
jamak dalam bahasa Indonesia. Kata buku
yang bermakna “sebuah buku” menjadi buku-buku yang bermakna banyak buku. Berdasarkan hal tersebut,
perubahan makna dari tunggal (satu) menjadi jamak (banyak) disebabkan suatu
kata mengalami proses reduplikasi (pengulangan).
Proses komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa
Indonesia, juga dapat menimbulkan makna baru. Makna gramatikal dari komposisi sate ayam tidak sama dengan komposisi sate Madura. Yang pertama, sate ayam,
menyatakan asal bahan, sedangkan sate
Madura, menyatakan asal tempat.
Begitu pula dengan komposisi “anak asuh” dengan “orang tua asuh”. Yang pertama
menyatakan “anak yang diasuh”, sedangkan yang kedua berarti “orang tua yang
mengasuh”.
2.1.3
Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Perbedaan dua makna ini berdasarkan ada tidaknya
referen dari kata-kata itu. Bila suatu kata memunyai referen atau sesuatu di
luar bahasa yang diacu kata tersebut, maka suatu kata bermakna referensial.
Jika suatu kata tidak memunyai referen, maka kata tersebut bermakna
nonreferensial.Contohnya, kata meja dan kursi, memiliki referen yaitu sejenis
perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi. Jadi, kata meja dan kursi
bermakna referensial. Adapun kata-kata yang termasuk preposisi, konjungsi, dan
kata tugas lainnya, tidak memiliki referen, sehingga bermakna nonreferensial.
2.1.4.
Makna Denotatif dan Konotatif
Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada
ada atau tidak adanya nilai rasa. Setiap kata memunyai makna denotatif, tetapi
tidak semuanya memiliki makna konotatif. Hal tersebut disebabkan kata yang
bermakna denotatif tidak memiliki nilai rasa, sedangkan kata bermakna konotatif
itulah yang memunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif.
Kata bermakna denotatif pada dasarnya sama dengan makna
referensial, karena sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan,
penciuman, pendengaran, dan lain-lain. Makna denotasi sering dikatakan sebagai
makna sebenarnya. Sebagai contoh kata wanita
dan perempuan, sama-sama bermakna manusia dewasa bukan laki-laki. Makna
tersebut adalah makna denotasi. Begitu pula dengan kata gadis dan perawan,
sama-sama bermakna denotasi wanita yang
belum bersuami. Kata wanita dan perempuan atau gadis dan perawan, bila
ditinjau dari makna konotatif, keduanya memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata
wanita dan gadis, memiliki nilai rasa yang tinggi atau positif. Kata wanita dan
gadis, lebih menunjukkan peran dalam kehidupan yang tidak kalah dengan
laki-laki dan mengarahkan hal-hal berkemajuan. Lain halnya dengan kata
perempuan dan perawan, nilai rasanya rendah karena makna dua kata tersebut
berhubungan dengan jenis kelamin. Perbedaan nilai rasa antara wanita dan
perempuan lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Wanita
|
perempuan
|
1. Berpendidikan
lebih
2. Modern dalam
segala hal
3. Kurang berperasaan
keibuan (makna tambahan)
4. Malas ke dapur
(makna tambahan)
|
1. Pendidikan kurang
2. Tidak atau kurang
modern
3. Berperasaan
keibuan (makna tambahan)
4. Rajin ke dapur
(makna tambahan)
|
Positif dan negatifnya nilai rasa (makna
tambahan) seringkali terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata tersebut
sebagai perlambang. Jika digunakan sebagai lambing sesuatu yang positif, akan
bernilai positif. Begitu pula sebaliknya, jika digunakan sebagai lambang
sesuatu yang negatif akan bernilai rasa negatif. Pandangan hidup dan
norma-norma penilaian kelompok masyarakat, sebenarnya dapat dikatakan yang
menyebabkan timbulnya lambang positif dan negatif tersebut. Bisa jadi kelompok
orang Jawa Tengah menilai perempuan lebih tinggi nilai rasanya, karena lebih
memerlihatkan kodrat, tapi kelompok orang Jawa Barat lebih menyukai makna
wanita, yang mungkin lebih menghargai seorang perempuan yang dapat berperan
lebih banyak walaupun terkadang tidak memerdulikan kodratnya.
2.1.5 Makna Kata dan Makna Istilah
Pembedaan makna kata dan makna istilah berdasarkan
ketepatan makna kata tersebut dalam penggunaannya. Kata yang digunakan secara umum digunakan
ketika berbahasa, merupakan makna kata. Penggunaannya secara umum seringkali
tidak cermat. Lain halnya dengan kata
yang digunakan secara khusus, berkaitan dengan bidang kegiatan tertentu,
dikatakan sebagai makna istilah .
Makna kata walaupun secara sinkronis tidak berubah,
tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat bersifat umum. Makna kata
tersebut baru jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari
konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Contohnya kata tahanan. Kata tersebut bermakna orang yang ditahan, bisa juga hasil perbuatan menahan, atau mungkin
ada makna lainnya.
Berbeda dengan istilah, makna kata yang digunakan tetap
dan pasti. Hal itu disebabkan istilah hanya digunakan dalam bidang kegiatan
atau keilmuan tertentu. Kata tahanan
sebagai istilah dalam bidang hukum,
sudah pasti berarti orang yang ditahan
sehubungan dengan suatu perkara kriminal atau perdata. Jika kata tahanan sebagai istilah dalam bidang kelistrikan, maknanya daya yang
menahan arus listrik.
Istilah yang sudah menjadi unsur leksikal bahasa umum
disebut istilah umum. Frekuensi pemakaiannya dalam bahasa sehari-hari cukup
tinggi. Contoh istilah umum ialah akomodasi,
deposito,pakar, canggih, mantan, dan sebagainya. Tetapi kata-kata seperti debil, klorofil, vektor, variabel masih
tetap sebagai istilah yang penggunaannya terbatas pada bidang ilmu yang
terkait. Beberapa makna kata sebagai istilah, juga dibuat tepat untuk
menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Contohnya,
dalam bidang ilmu kedokteran, istilah tangan dan lengan memunyai perbedaan.
Tangan adalah pergelangan sampai ke jari-jari, sedangkan lengan dari
pergelangan sampai ke pangkal bahu.
Adapun deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal merupakan perbedaan kata
sebagai makna umum dan kata dengan makna khusus (makna yang lebih terbatas).
Kata besar adalah kata bermakna umum
dan pemakaiannya lebih luas daripada kata agung,
akbar, raya, dan kolosal. Misalnya, frase rapat akbar dapat diganti dengan rapat besar.
2.1.6
Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif
didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan makna kata dengan makna kata
lain. Pengertiannya, makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya,
referennya, dan bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Makna konseptual
dapat disamakan dengan makna referensial, leksikal, dan denotatif. Lain halnya
dengan makna asosiatif, yaitu makna sebuah kata yang berkenaan dengan adanya
hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna suci atau kesucian, atau kata merah
yang berasosiasi makna berani.
Mendalami makna asosiasi, sesungguhnya sama dengan
lambing-lambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan
suatu konsep. Mengacu pada contoh kata melati
dan merah, maka melati digunakan untuk lambang
kesucian, sedangkan merah sebagai
lambang keberanian.
Leech (1976) dalam Chaer (1990: 74-75) secara garis
besar memasukkan makna konotatif, stilistik,afektif, refleksi, dan kolokatif
sebagai bagian dari makna asosiatif. Makna asosiasi berhubungan dengan
nilai-nilai moral dan pandangan hidup dalam masyarakat bahasa yang berarti juga
berkait dengan nilai rasa bahasa, sehingga makna konotatif masuk ke dalam makna
asosiasi. Makna stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata karena berkait
adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di masyarakat. Makna kata rumah,
pondok, istana, keraton, kediaman, tempat tinggal, dan residensi. Kata istana
hanya dipakai untuk orang-orang dari keturunan raja, ningrat, atau berpangkat
tinggi, tidak sesuai bila dikaitkan dengan orang-orang kampung atau biasa.
Begitu pula dengan kata-kata lainnya. Untuk makna afektif, berkaitan dengan
perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara
maupun objek yang dibicarakan.Makna ini lebih terasa bila dituturkan dalam
bahasa lisan. Contohnya :
a. “Tutup mulut kalian!” (membentak dan bahasa terasa kasar).
b. “Coba, mohon diam sebentar!” (pemakaian bahasa halus dan meminta
dengan baik).
Makna kolokatif dalam
makna asosiasi, berkaitan dengan makna kata yang memunyai “tempat” yang sama
dalam sebuah frase. Dapat dikatakan gadis itu cantik, pemuda itu tampan, dan
bunga itu indah, tetapi kita tidak dapat gadis itu tampan, pemuda itu cantik,
dan bunga itu molek. Masing-masing memunyai keterikatan dalam frase.
2.1.7
Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Makna idiom tidak berkaitan dengan makna leksikal atau
makna gramatikal unsur-unsurnya. Hal tersebut sesuai dengan pengertian idiom,
yakni satuan-satuan bahasa (kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak
dapat diperkirakan dari makna leksikal unsure-unsurnya maupun makna
gramatikalnya. Dicontohkan kata-kata ketakutan,
kesedihan, keberanian , dan kebimbangan, menurut kaidah gramatikal memiliki
makna hal yang disebut bentuk dasarnya.Tetapi kata kemaluan, bermakna lain,
tidak memiliki makna gramatikal. Kata tersebut bermakna idiomatikal, yakni alat
kelamin laki-laki atau perempuan.
Dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia, yaitu
idiom sebagian dan penuh. Idiom penuh ialah idiom yang unsur-unsurnya secara
keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contohnya, membanting tulang dan meja hijau. Lain dengan idiom sebagian
yang masih memiliki makna leksikalnya sendiri, seperti koran kuning yang berarti koran yang seringkali memuat berita
sensasi.
Makna peribahasa berbeda dengan makna idiom.
Perbedaannya, makna peribahasa berkaitan dengan asosiasi. Misalnya, ada dua
orang yang selalu bertengkar, dapat dimaknai dalam peribahasa bagai anjing dan
kucing. Sebenarnya peribahasa tersebut mengingatkan kita bahwa anjing dan
kucing memang binatang yang tidak pernah rukun.
2.1.8
Makna Kias
Makna kias merupakan oposisi dari arti sebenarnya.
Tidak merujuk pada arti sebenarnya. Misalnya, raja siang bermakna matahari,
atau kata bunga dalam kalimat Amanah adalah bunga di desa kami berarti
gadis cantik. Makna kiasan sangat berkaitan dengan kiasan, perbandingan,
atau persamaan.
2.2 Relasi Makna dan Struktur
Bahasa Indonesia
Relasi makna dalam bahasa Indonesia adalah
hubungan arti kata dalam sebuah kalimat. Relasi makna dalam bahasa Indonesia dibagi
menjadi beberapa, diantaranya adalah sinonim, antonim, homonim, hiponim,
hipernim, homofon, polisemi, ambiguitas dan redundansi. Berikut ini akan
dibahas masalah-masalah tersebut satu per satu.
2.2.1
Sinonim
Secara etimologi kata sinonim
berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari dua kata yaitu, onoma yang
berarti ‘nama’, dan ‘syn’ yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah sinonim
berarti ‘nama lain untuk benda atau dua hal yang sama’, sedangkan secara
semantis, sinonim dapat didefinisikan sebagai ungkapan (dapat berupa kata,
frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Contoh:
Buruk dan jelek rupa adalah dua buah kata yang
bersinonim,
Bunga, kembang dan puspa adalah tiga buah kata yang
bersinonim,
Mati, wafat, meninggal dan mampus adalah empat buah
kata yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim
bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka
kata kembang juga bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk
bersinonim dengan kata buruk.
Pada
definisi di atas tersirat “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah
kata
yang bersinonim itu; kesamaannya
tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat
mutlak (Agusta 1971:89, Ullman 1972:141). Kesamaannya bersifat tidak mutlak
karena dalam semantik ada prinsip umum yang mengatakan bahwa jika bentuk
berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit.
Demikian juga dengan kata-kata yang bersinonim, makna katanya pun tidak persis
sama. Hal ini disebabkan karena bentuknya tidak sama sehingga berpengaruh pada
makna kata tersebut, walaupun kata-kata tersebut bersinonim.
Kata-
kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang sama persis sama, sehingga
kata-kata tersebut tidak selalu dapat saling menggantikan kedudukan masing-masing
kata dalam sebuah kalimat yang berbeda, misalnya, kata mati dan meninggal yang
memiliki makna kata yang sama. Tetapi dalam konteks sebuah kalimat, dua kata
yang bersinonim tersebut memiliki kedudukan kata yang berbeda. Hal ini bisa
dilihat dari contoh di bawah ini:
-Meninggal: Ayah Ani sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu.
-Mati: Tikus itu mati diterkam kucing liar.
Dua
buah kata tersebut sebenarnya bermakna kata sama, yaitu sudah tidak bernyawa,
akan tetapi dalam penggunaannya dalam sebuah kalimat sangat berbeda. Meninggal
dalam konteks bahasa Indonesia hanya boleh digunakan untuk manusia, sedangkan
mati bisa digunakan untuk manusia dan hewan, tetapi umumnya hanya digunakan
untuk hewan. Mengapa demikian? Karena kedudukan kata meninggal lebih tinggi
daripada mati. Jadi, kedua kata tersebut tidak dapat saling menggantikan
walaupun bermakna kata sama.
Penjelasan
tentang dua kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama dapat
memacu timbulnya pertanyaan seperti ini, lalu apakah yang sama dari dua kata
yang bersinonim tersebut? Menurut teori Verhaar yang sama adalah informasinya;
padahal jika kita analisa lagi, informasi bukanlah sebuah makna karena
informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat bersifat
intralingual.
Ketidakmungkinan
untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim
disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya:
a.
Faktor waktu
Hulubalang
bersinonim dengan kata komandan. Kedua kata tersebut bersinonim tetapi tidak
dapat dengan mudah dipertukarkan. Hal ini disebabkan karena kata hulubalang
hanya cocok digunakan pada situasi kuno, klasik. Sedangkan kata komandan hanya
cocok digunakan untuk situasi masa kini (modern).
b.
Faktor tempat
atau daerah
Kata saya dan
beta. Dua kata tersebut bersinoim, tetapi tidak dapat digunakan secara
sembarangan. Dua kata yang bersinonim ini tidak dapat saling menggantikan
kedudukan masing-masing. Kata beta memang mempunyai arti “saya”, tetapi kata
beta hanya cocok digunakan untuk wilayah Indonesia bagian timur (Maluku). Sedangkan
kata saya bias digunakan di wilayah amanapun, karena kata tersebut bersifat
umum dan sudah banyak dimengerti oleh orang.
c.
Faktor sosial
Misalnya
kata saya dan aku. Kata saya dan aku merupakan dua kata yang bersinonim dan
dapat saling menggantikan kedudukan masing-masing, yang membedakan adalah
status sosial. Kata ‘Aku’ adalah kata yang hanya dapat digunakan pada teman
sebaya dan tidak dapat digunakan untuk orang yang lebih tua atau lebih tinggi
status sosialnya. Sedangkan kata ‘Saya’ bersifat umum dan dapat digunakan oleh
segala usia. Kata saya terdengar lebih halus dan sopan jika digunakan untuk
berkomunikasi dengan orang lain.
d.
Faktor bidang
kegiatan
Misalnya kata
tasawwuf, kebatinan, dan mistik. Adalah tiga buah kata yang bersinonim. Akan
tetapi ketiga kata tersebut berbeda penggunaannya sehingga makna dari ketiga
kata tersebut agak sedikit berbeda. Kata tasawwuf lazimnya digunakan dalam
agama islam, sedangkan kata kebatinan untuk hal yang tidak berhubungan dengan
islam dan kata mistik lebih bersifat umum.
e.
Faktor nuansa
makna
Misalnya kata bekas dan
mantan. Kedua kata tersebut bersinonim hanya saja nuansa
maknanya berbeda. Kata bekas lazim
digunakan untuk apa saja sedangkan kata mantan hanya lazim digunakan dalam
hal-hal tertentu, contohnya bekas rumah, bekas teman, bekas pacar dsb.
Sedangkan mantan hanya cocok seperti contoh kata mantan presiden, mantan rektor,
mantan menteri, dsb.
Mengenai sinonim
dalam bahasa Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
tidak semua kata dalam bahasa Indonesia tidak semua bersinonim, kedua, ada
kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian,
misalnya kata benar dan betul, tetapi kata kebetulan tidak sama dengan
kebenaran. Dua kata tersebut bemakna beda. Ketiga, ada kata-kata yang tidak
bersinonim pada bentuk dasar tetapi bersinonim pada bnetuk jadian, misalnya
kata pimpin. Kata pimpin tidak bersinonim, tetapi jika kata memimpin ada
sinonimnya yaitu membimbing, menuntun, mengetuai, dan menunjukkan. Keempat, ada
kata-kata yang “dalam arti sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam
arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya saja kata hitam. Hitam dalam
arti yang sebenarnya adalah sebuah warna, yang tidak ada sinonimnya sama
sekali. Tetapi jika dalam arti kiasan hitam memiliki banyak arti seperti mesum,
gelap, buruk, jahat dan tidak menentu.
2.2.2
Antonim
dan Oposisi
Antonim
dalam bahasa Indonesia berarti “lawan arti kata”. Jika sinonim adalah persamaan
arti kata, sedangkan antonym adalah lawan arti kata. Antonym berasal dari
bahasa Yunani kuno yaitu onoma yang artinya nama dan anti yang artinya melawan.
Maka secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula. Seacra
semantic, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: ungkapan (biasanya berupa
kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap
kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya saja kata tinggi berantonim dengan
kata rendah, kata panjang berantonim dengan kata pendek, dsb.
Sama
halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa: Tataran
morfem, tataran kata, tataran frase dan tataran kalimat. Dalam bahasa
Indonesia, untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada, sedangkan dalam
bahasa inggris sering kali kita jumpai contoh kata thankful dengan thankless,
di mana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, di mana pro
dan re- yang juga berantonim; juga antara bilingual dengan monolingual, di mana
bi- dan mono juga berantonim.
Pada hakikatnya,
antonim sebenarnya sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah
sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan “..yang maknanya dianggap
kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi hanya dianggap kebalikan, bukan
mutlak berlawanan.
Sehubungan
dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi,
maka bias tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang
hanya bersifat kontras saja. Misalnya saja kata hidup dan mati adalah contoh
kata yang berlawanan; hitam dan putih merupakan contoh kata yang hanya
berkontras saja. Berdasarkan sifanya, oposisi dapat dibedakan menjadi:
1. Oposisi Mutlak
Pada oposisi
mutlak, terdapat pertentangan secara mutlak. Umpamanya kata hidup dan mati.
Antara kata hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup
tentu tidak (belum) mati tetapi sesuatu yang mati tidak akan hidup lagi.
2. Oposisi Kutub
Makna
kata-kata yang termasuk pada oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat
mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada
kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang
beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang
tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang miskin belum
tentu tidak kaya. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata
dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah,
terang-gelap, dan luas-sempit.
3.
Oposisi Hubungan
Makna
kata-kata yang bersifat hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi.
Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata lain yang menjadi oposisinya,
tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Misalnya saja kata menjual
dan membeli. Kedua kata ini memang berlawanan tapi proses kejadiannya berlaku
serempak.
Makna
kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan.
Oleh karena itu kata –kata yang beroposisi hirearkial ini adalah kata-kata yang
berupa nama satuan ukuran (berat,panjang dan isi), nama satuan hitungan dan
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dsb. Misalnya satuan meter beroposisi
hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang
menyatakan ukuran panjang.
5.
Oposisi Majemuk
Oposisi
majemuk adalah oposisi yang memiliki lebih dari satu kata, misalnya berdiri
beroposisi dengan duduk, berbaring, tiarap dan berjongkok.
2.2.3
Homonim,
Homofon, Homograf
Homonim
secara harfiah adalah nama yang sama untuk benda atau hal lain. Kata homonym
berasal dari bahasa Yunani yaitu onoma yang berarti nama dan homo yang berarti
sama. Secara semantic Veerhar (1978) mendefinisikan homonym sebagai ungkapan
(berupa kata atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain juga (juga
berupa frase, kata atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Misalnya saja kata
bisa. Kata bisa dapat dijadikan arti sebagai pertama bisa yang artinya dapat,
sedangkan bisa yang kedua artinya racun ular. Bagamana dapat terjadi
bentuk-bentuk homonim? Ada dua kemungkinan penyebabnya, diantaranya adalah.
Pertama, bentuk-bentuk berhomonim itu berasal sari bahasa dialk yang berlainan.
Misalnya ‘bisa’ berasal dari daerah Melayu, sedangkan kata ‘bisa’ yang artinya
sanggup berasal dari bahasa Jawa. Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonim itu
terjadi sebagai hasil proses morfologi, contoh: ibu mengukur kelapa di dapur
adalah berhomonim dengan kata petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami.
Kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan
me-pada kata kukur (me+kukur mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua
terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ ukur
mengukur).
Selain
homonim ada pula istilah homofon dan homograf. Homofon artinya dua kata yang
berbeda tetapi sama pelafalannya. Misalnya saja kata bang dan bank. Kata bang
merupakan bentuk singkat dari panggilan abang yang artinya kakak laki-laki,
sedangkan kata bank adalah sebuah lembaga yang mengurus lalu lintas uang.
Selain homofon dan homonim ada juga homograf di mana yang berarti dua kata yang
sama tulisannya tetapi berbeda bunyi. Misalnya saja kata apel dengan apel. Kata
apel yang pertama adalah nama buah-buahan sedangkan apel yang kedua artinya
kencan.
2.2.4
Hiponim
dan Hipernim
Kata
hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘onoma berarti nama dan ‘hypo’
berarti ‘di bawah’. Jadi, secara harfiah hiponim adalah ‘nama yang termasuk di
bawah nama lain’. Secara semantic Veerhar (1978:137) menyatakan bahwa hiponim
adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya juga berupa frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan
lain. Umpamanya kata mawar dan bunga, mawar berhiponim pada bunga karena makna
mawar berada atau di dalam kata bunga. Mawar memang bunga tetapi bunga bukan
hanya mawar saja melainkan juga termasuk melati, kamboja, raflesia, anggrek,
dsb.
2.2.5
Polisemi
Polisemi
adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya saja kata kaki,
kata kaki bisa beragam makna tergantung pada konteks kata atau frasenya. Kata
kaki bisa dibagi menjadi beberapa kata seperti kaki gunung, kaki bukit, kaki
meja. Kata kaki sendiri merupakan bagian dari anggota tubuh yang letaknya berada
di bawah. Hal itu juga berfungsi sama dengan kata kaki gunung, kaki bukit dan
kaki meja. Kata kaki pada ketiga contoh kata tersebut menunjukkan bahwa kaki
adalah sesuatu yang terletak di bawah.
Bentuk-bentuk
polisemi adalah sebuah kata yang yang memiliki makna lebih dari satu. Polisemi
sendiri adalah sebuah kata sehingga dalam kamus besar bahasa Indonesia polisemi
didaftarkan sebagai sebuah entri. Perbedaan antara polisemi dan homonim, pada
homonim makna-makna pada bentuk-bentuk tidak ada kaitan atau hubungan sama
sekali antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan pada polisemi, makna-makna
pada kata yang berpolisemi masih ada hubungannya karena memang dikembangkan
dari kompone-komponen makna kata-kata tersebut.
2.2.6
Ambiguitas
Ambiguitas
adalah kata yang bermakna ganda yang berasal dari satuan gramatikal yang lebih
besar, yaitu frase atau kalimat yang terjadi sebagai akibat penafsiran struktur
gramatikal yang berbeda. Misalnya frase buku matematika baru dapat ditafsirkan
sebagai (1) buku matematika itu baru terbit, atau (2) buku itu berisi
matematika dengan cara-cara terbaru dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
tersedia. Dalam bahasa lisan, penafsiran ganda tidak akan terjadi karena struktur
gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Sedangkan dalam bahasa tulisan,
penafsiran ganda banyak kemungkinan terjadi karena dapat saja terjadi
penanda-penanda ejaan yang tidak lengkap diberikan. Ambiguitas dan homonim
merupakan makna kata yang hampir mirip bentuknya, yang membedakan homonym
dengan ambiguitas adalah jika homonym dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan
sama dan dengan makna yang berbeda sedangkan ambigutas adalah sebuah bentuk
dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur
gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase
sedangkan homonim dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morefem, kata,
frase, dan kalimat).
2.2.7
Redundansi
Istilah
redundansi lazim diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental
dalam suatu ujaran’. Misalnya kalimat Bola ditendang si Udin, maknanya tidak
akan berubah jika kalimat tersebut diubah menjadi bola ditendang oleh si Udin. Pemakaian
kata oleh pada kalimat yang kedua merupakan sebuah redundansi, karena sebenarnya
pada kalimat kedua tidak perlu menggunakan kata oleh. Secara semantik
menyatakan masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip
dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi,
kalimat bola ditendang si Udin akan tampak berbeda maknanya dengan bola
ditendang oleh si Udin. Hal itu disebabkan karena pada kalimat yang kedua lebih
menonjolkan makna pelaku (agentif) pada kalimat yang pertama. Akan tetapi Chaer
(1990:109) menyatakan sesungguhnya yang mengatakan pemakaian kata oleh dalam
contoh kalimat yang kedua adalah sebuah redundansi, yang mubazir merupakan
pernyataan yang keliru atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna
adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan
informasi adalah sesuatu yang luar ujaran(utterance-external). Jadi, yang sama
antara kalimat yang pertama dengan yang kedua adalah informasinya bukan
maknanya.
2.3 Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia
2.3.1 Sebab-Sebab
Perubahan Makna Kata
Beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya perubahan makna kata, yaitu :
2.3.1.1 Perkembangan
dalam Bidang Ilmu dan Teknologi
Perubahan makna
kata yang disebabkan berkembangnya ilmu dan teknologi, lebih tepat disebabkan
timbulnya pandangan-pandangan baru terhadap suatu konsep atau teori. Sebuah
kata yang semula bermakna sesuatu yang sederhana menjadi makna yang mewakili
pandangan baru. Contohnya, makna kata sastra
yang semula berarti tulisan,
berkembang menjadi karya imajinatif.
Pandangan baru atau teori baru tentang sastra, mengubah makna kata sastra yang
semula buku yang baik isi dan bahasanya menjadi karya yang bersifat imajinatif
kreatif.
2.3.1.2 Perkembangan
Sosial dan Budaya
Perubahan makna
kata dapat terjadi dalam bidang sosial kemasyarakatan. Perubahan tersebut
disebabkan adanya perbedaan kedudukan, derajat atau status sosial, suku,
tingkat pendidikan ,dan lainnya yang masih berkait. Contohnya, kata sarjana dalam bahasa jawa kuno diartikan
orang pandai atau cendekiawan, tetapi sekarang sudah berubah menjadi orang yang
sudah lulus dari perguruan tinggi, walaupun barangkali dengan indeks prestasi
ala kadarnya. Perubahan makna tersebut berarti juga seseorang tidak akan
dipanggil sarjana walaupun pandai, tapi tidak lulus dari perguruan tinggi.
2.3.1.3Perbedaan
Bidang Pemakaian
Perubahan makna
kata dapat disebabkan dalam setiap bidang kehidupan atau kegiatan, memiliki
kosa kata tersendiri. Kosa kata dalam bidang pertanian akan berbeda dengan
bidang agama, contohnya. Bidang pertanian menggunakan kata-kata benih, menuai,
menggarap, menanam, pupuk, dan sebagainya. Bidang agama menggunakan kata-kata
halal, haram,imam, sholat, zakat, dan lain-lain. Selanjutnya, kosa kata dalam
bidang tertentu juga dapat digunakan secara umum. Hal tersebut dapat dicontohkan
dari kata menggarap yang berasal dari
bidang pertanian, sehingga timbul frase menggarap
sawah, kini banyak dipakai oleh bidang-bidang lain dengan makna
mengerjakan, seperti menggarap generasi muda. Kata menggarap menjadi berbeda maknanya ketika digunakan dalam bidang
yang lain, tidak seperti makna dalam bidang pertanian. Tetapi makna baru menggarap dalam bidang lain, masih
berkaitan dengan makna asalnya. Makna yang baru digunakan secara metaforis,
sedangkan makna asal tidak.
2.3.1.4
Adanya asosiasi
Perubahan makna kata yang disebabkan asosiasi, masih
berhubungan dengan makna asal kata dalam bidang tertentu dengan makna kata yang
baru dalam bidang yang lain. Makna baru yang timbul berkaitan dengan hal atau
peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat-menyurat,
makna asalnya adalah sampul surat. Ternyata penggunaan amplop tidak hanya
sebagai sampul surat, tetapi dapat menjadi “wadah” benda lain, seperti uang.
Akhirnya, makna kata amplop dapat berubah menjadi uang, yang secara umum
berarti penghargaan atas jasa yang sudah dilakukan (positif) atau uang sogokan
(negatif). Asosiasi terjadi antara
amplop dengan uang karena berkenaan dengan wadah. Yang disebutkan wadahnya,
yaitu amplop, tetapi yang dimaksudkan adalah isinya, yaitu uang.
2.3.1.5
Pertukaran Tanggapan Indera
Perubahan makna kata yang disebabkan adanya pertukaran
tanggapan indera, berarti adanya penggunaan kata dalam berbahasa yang berbeda
dengan fungsi indera sebenarnya. Bila melihat fungsi indera pengecap, misalnya,
maka rasa pahit, getir, manis, asin, pedas harus ditanggap. Namun dalam
penggunaannya, rasa-rasa tersebut dapat ditanggap oleh indera lainnya. Contoh
kalimat yang dapat menjelaskan terjadi pertukaran tanggapan indera ialah kata-katanya cukup pedas. Rasa pedas
seharusnya ditanggap oleh indera pengecap (lidah), tetapi tertukar menjadi
ditanggap indera pendengaran.
2.3.1.6
Perbedaan Tanggapan
Setiap kata
sebenarnya memunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan
ukuran norma kehidupan di dalam masyarakat, banyak kata yang memiliki nilai
rasa yang rendah (kurang menyenangkan) dan nilai rasa yang tinggi (yang
mengenakkan). Nilai rasa yang timbul pada suatu kata, bisa berubah lagi dengan
adanya perubahan pandangan hidup yang sejalan dengan perkembangan budaya dan
kemasyarakatan. Sebagai contoh, kata jamban
bernilai rasa rendah, sehingga orang-orang menggantinya dengan kata W.C,
tetapi sekarang, kata jamban dipakai
lagi dan bermakna lebih baik seperti dalam frase jamban keluarga.
2.3.1.7
Adanya Penyingkatan
Ada sejumlah
kata atau ungkapan dalam Bahasa Indonesia, karena sering digunakan maka ketika
tidak diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan, orang sudah dapat
memahaminya. Oleh sebab itu, orang lebih sering menggunakan singkatannya saja
daripada bentuk utuhnya. Misalnya, kalau diucapkan “Ayahnya meninggal” tentunya
yang dimaksudkan adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal adalah bentuk singkat dari ungkapan meninggal dunia.
2.3.1.8
Proses Gramatikal
Proses
gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi akan menyebabkan
terjadinya perubahan makna. Namun, sebenarnya yang terjadi bukanlah perubahan
makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal.
Kalau bentuk kata mengalami perubahan maka makna kata pun akan berubah.
2.3.1.9
Pengembangan Istilah
Adanya
pemanfaatan kosa kata bahasa Indonesia dengan cara memberikan makna baru,
merupakan suatu upaya untuk mengembangkan atau membentuk istilah baru. Misalnya
kata papan yang semula bermakna
lempengan kayu tipis, kini diangkat menjadi istilah untuk makna “perumahan”.
Yang lainnya, kata “teras” yang semula bermakna inti kayu atau saripati kayu,
kini digunakan sebagai unsur pembentuk istilah untuk makna “utama” atau “pimpinan”,
seperti frase pejabat teras yang
berarti pejabat utama atau pejabat yang merupakan pimpinan.
2.4 Jenis-Jenis Perubahan Makna
Perubahan makna dalam bahasa Indonesia
beragamam seperti halnya relasi makna dalam bahasa Indonesia. Perubahan makna dibagi
menjadi beberapa bagian yaitu generalisasi (perluasan makna), spesialisasi
(penyempitan makna), ameliorasi (peninggian makna), peyorasi (penurunan makna),
sinestesia (pertukaran makna), dan asosiasi (persamaan makna). Semua macam
perubahan makna tersebut akan dibahas secara rinci seperti di bawah ini
2.4.1 Generalisasi
Generalisasi
atau perubahan makna secara luas yaitu suatu proses perubahan makna kata dari
kata yang lebih khusus ke kata yang lebih umum, atau dari makna kata yang
sempit ke makna kata yang lebih luas. Atau dengan kata lain makna saat ini
lebih luas cakupannya daripada makna di masa lampau. Chaer (1990:145)
menyatakan bahwa perubahan makna yang meluas artinya gejala yang terjadi pada
sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian
karena berbagai faktor, makna tersebut menjadi makna-makna lain. Misalnya saja
kata saudara, pada tempo dulu kata saudara bermakna seperut, sekandungan.
Kemudian berkembang menjadi siapa saja yang sepertalian sedarah. Akibatnya,
anak paman pun disebut saudara. Semakin berkembang zaman, berkembang pula
sebutan saudara hingga saat ini. Bahkan saat ini siapapun dapat dipanggil
saudara walaupun tidak ada ikatan darah sekalipun, contoh:
a.
Saudara saya ada
delapan orang
b. Surat saudara sudah
saya terima
c.
Sebetulnya dia
masih saudara saya, tetapi sudah agak jauh
Pada
kalimat awal (a) kata saudara di sini adalah orang yang masih sedarah, pada
kalimat yang kedua (b) kata saudara di sini adalah sapaan yang lebih sopan
kepada orang lain sebagai rasa hormat, sedangkan pada kalimat yang ketiga (c)
kata saudara di sini menunjukkan tentang seseorang yang masih ada hubungan
keluarga walaupun bukan hubungan sedarah dan pada kalimat yang terakhir (d)
kata saudara di sini adalah kata sapaan kepada orang lain agar tidak terlalu
kaku dan terlihat lebih akrab.
2.4.2
Spesialisasi
Spesialisasi
adalah sebuah proses perubahan makna dari kata umum ke kata yang khusus. Aatau
dengan kata lain spesialisasi atau penyempitan adalah gejala yang terjadi pada
sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas kemudian berubah
menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya saja kata sarjana. Pada
zaman dulu kata sarjana dapat disandang oleh orang-orang yang pandai atau
cendekiawan, tetapi pada saat ini. Kata sarjana pada saat ini hanya dpat
disandang oleh orang-orang yang telah lulus dari perguruan tinggi. Orang yang
cerdas sekalipun jika dia tidak lulus dari perguruan tinggi, maka dia tidak
akan disebut sarjana, tetapi beda halnya dengan orang yang telah lulus dari
perguruan tinggi walaupun dengan indeks prestasi rendah orang tersebut tetap
disebut sarjana. Itulah salah satu contoh dari spesialisasi.
2.4.3
Ameliorasi
Kata
ameliorasi berasal dari bahasa latin yaitu melior yang artinya ‘lebih baik’
berarti membuat menjadi ‘lebih baik, lebih tinggi, lebih anggun, lebih halus’.
Dengan kata lain, ameliorasi mengacu pada peningkatan makna kata; makna baru
dianggap lebih baik atau lebih tinggi nilainya daripada dulu. Kita ambil contoh
yang sederhana saja, kata wanita dengan perempuan. Pemakaian kata wanita pada
saat ini dirasa lebih sopan untuk digunakan daripada kata perempuan. Demikian
pula halnya beberapa contoh pasangan kata-kata berikut ini:
Istri – lebih baik, lebih hormat daripada bini
Suami – lebih baik, lebih hormat daripada laki
Pria – lebih baik, lebih hormat daripada
laki-laki
Hamil
– lebih baik, lebih hormat daripada bunting
Melahirkan - lebih baik, lebih hormat daridapa beranak
Meninggal dunia – lebih baik, lebih
hormat daripada mati
Tunaaksara – lebih baik, lebih hormat
daripada buta huruf
Tunawicara – lebih baik, lebih hormat
daripada bisu
Adapun contoh penggunaan kata-kata
tersebut dalam sebuah kalimat seperti di bawah ini:
Istri
pak Rusdi adalah seorang perawat senior di rumah sakit ternama di Jakarta
(ameliorasi)
Sampai
saat ini bang Ali belum juga mempunyai bini.
Jumlah
tunaaksara di Indonesia semakin lama
semakin berkurang karena sudah banyaknya orang yang mau belajar. (ameliorasi)
Dia
tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali sehingga dia buta huruf hingga saat ini.
2.4.4 Peyorasi
Peyorasi adalah sebuah perubahan makna kata
menjadi lebih jelek atau menjadi lebih buruk dari makna yang sebelumnya. Kata
peyorasi berasal dari bahasa latin yaitu ‘Pejor’ yang artinya buruk atau jelek.
Proses perubahan makna peyoratif ini kebalikan dari perubahan makna
amelioratif. Sebagai contoh kata mampus dan meninggal. Pada masa lampau, kata
mampus merupakan hal yang biasa, tetapi pada saat ini kata mampus tidak tepat
digunakan karena terlalu kasar. Pada saat ini kata mampus diganti dengan kata
yang lebih halus lagi yaitu meninggal.
2.4.5 Sinestesia
Sinestesia adalah sebuah perubahan makna
yang terjadi sebagai akibat pertukaran tanggapan antara dua indera yang
berbeda. Perubahan makna ini disebut sinestesia. Contoh:
Ibu R.A Kartini adalah
seorang pejuang wanita yang harum
namanya.
Anis bukanlah seorang
yang baik, hatinya sangat busuk.
Dua contoh kalimat di atas merupakan
contoh perubahan makna sinestesia, di mana kata harum dan busuk sebenarnya
adalah tanggapan indera, tetapi dalam konteks kalimatnya kedua kata tersebut
bisa digunakan sebagai pertukaran tanggapan.
2.4.6
Asosiasi
Dalam bahasa Indonesia terdapat
perubahan makna yang disebut asosiasi. Asosiasi adalah sebuah perubahan makna
yang terjadi sebagai akibat persamaan sifat. Untuk lebih memperjelas keterangan
di atas, mari kita lihat contoh di bawah ini:
Kursi
itu telah lama diidam-idamkan oleh paman Aji. (jabatan)
Saya naik garuda ke Kalimantan. (pesawat)
Dia
hanya numpang makan, minum dan tidur di rumah ini tanpa mau membantu
mengerjakan pekerjaan rumah. Dia memang seorang parasit. (pengganggu)
Ketiga contoh kalimat di atas adalah
contoh konkrit dari perubahan makna asosiasi,kita analisa satu per satu
contoh-contoh kalimat di atas:
Kursi
itu: kursi itu di sini maksudnya
adalah jabatan, pangkat, kedudukan.
Naik garuda: naik garuda maksudnya adalah pesawat yang bermerek garuda.
Seorang parasit: seorang parasit maksudnya adalah orang yang selalu merugikan orang lain.
2.5 Makna dan Penggunaan Bahasa
dalam Bahasa Indonesia
Dewasa ini, penggunaan bahasa dalam
bahasa Indonesia sebenarnya sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan karena
banyak masyarakat kita yang masih tetap mempertahankan tradisi berbahasa yang
salah kaprah, di mana masyarakat tetap sangat bersikap acuh tak acuh dengan
kesalahan tersebut yang jelas kesalahan-kesalahan tersebut sangat merusak makna
dan struktur bahasa Indonesia itu sendiri. Contoh:
Para
hadirin sekalian dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat
segera dilaksanakan.
Adik-adikku
berebut mainan hingga mereka saling pukul-memukul.
Dua contoh kalimat di atas merupakan kalimat sederhana yang sering
digunakan oleh masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari. Padahal tiga contoh
kalimat di atas merupakan sebuah kesalah-kaprahan dalam berbahasa. Seharusnya
tiga contoh kalimat di atas tersebut menjadi seperti ini:
Para hadirin
dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera dilaksanakan.
atau
Hadirin sekalian
dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera dilaksanakan.
Adik-adikku
berebut mainan hingga mereka saling pukul.
atau
Adik-adikku
berebut mainan hingga mereka pukul memukul.
Untuk dapat memahami kalimat yang
digunakan dalam bahasa Indonesia, maka sebaiknya kita perlu memahami makna kata
tersebut agar tidak terjadi salah paham antara si pembicara dan si pendengar. Pengertian
makna itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat intrinsic di mana terdapat
sebuah hubungan khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda lain.
Dengan kata lain makna juga bisa berarti kata-kata yang dihubungkan dengan
sebuah kata dalam kamus. Makna mempunyai peranan penting dalam sebuah bahasan
ataupun percakapan. Menurut Fries dalam Tarigan (1990:11) makna dibagi menjadi
dua bagian yaitu makna linguistik dan makna sosial (kultiral). Ada pendapat
lain yang berbeda pendapat tentang pembagian makna, Heatherington (1980:135)
menyatakan bahwa makna dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu makna
referensial dan makna presedensial. Hearingthon juga berpendapat bahwa makna
dibagi menjadi dua yaitu makna leksikal dan makna leksikotruktural. Lebih jauh
lagi makna leksikal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu makna denotative dan
makna konotatif. Relasi makna dan perubahan makna merupakan penjabaran dari
sebuah penjelasan tentang makna. Dalam bahasa Indonesia relasi makna dibagi
menjadi beberapa bagian dan dapat digunakan dalam penggunaan bahasa Indonesia
sehari-hari baik dalam lisan maupun tulisan. Tidak hanya relasi makna saja,
akan tetapi terdapat pula perubahan makna dalam bahasa Indonesia, di mana
perubahan makna tersebut bisa juga digunakan dalam bahasa lisan maupun tulisan
dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Saat ini penggunaan makna dan bahasa
dalam bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada lingkup sekolah saja, bahkan
orang-orang awam juga sering memakai makna dan bahasa Indonesia dalam kehidupan
mereka secara tidak sengaja dan tidak disadari. Untuk penggunaan makna dalam
kehidupan sehari-hari, seringnya masyarakat menggunakan perubahan makna yang
bersifat peyorasi. Hal itu terjadi karena masyarakat kita sudah terbiasa
menggunakan kalimat-kalimat yang bermakna peyorasi, dan merupakan sebuah
tradisi yang berurat berakar dalam budaya masyarakat kita, sehingga hal
tersebut tidak akan mudah dihilangkan dalam budaya masyarakat sekitar.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Jika dilihat dari ilmu semantik,
pengertian makna adalah suatu hubungan khas yang tidak teranalisis dengan
hal-hal atau benda-benda lain yang bersifat intrinsik. Makna dibedakan menjadi
dua bagian yaitu makna linguistic dan makna sosial (kultural), dan dapat juga
dibagi atas dua biag yaitu makna leksikal dan makna leksikostruktural. Terdapat
relasi makna dan perubahan makna dalam bahasa Indonesia. Relasi makna dalam
bahasa Indonesia terbagi atas sinonim, antonim dan oposisi, homonim, homofon,
homograf, polisemi, redundansi, hipernim, niponim dan ambiguitas. Sedangkan
perubahan makna kata meliputi generalisasi, spesialisasi, ameliorasi, peyorasi,
asosiasi, sinestesia. Relasi makna maupun perubahan dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Dewasa ini, penggunaan bahasa dalam
bahasa Indonesia sebenarnya sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan karena
banyak masyarakat kita yang masih tetap mempertahankan tradisi berbahasa yang
salah kaprah, di mana masyarakat tetap sangat bersikap acuh tak acuh dengan
kesalahan tersebut yang jelas kesalahan-kesalahan tersebut sangat merusak makna
dan struktur Bahasa Indonesia itu sendiri. Untuk dapat memahami kalimat yang
digunakan dalam bahasa Indonesia, maka sebaiknya kita perlu memahami makna kata
tersebut agar tidak terjadi salah paham antara si pembicara dan si pendengar.
Pengertian makna itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat intrinsik di mana
terdapat sebuah hubungan khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda
lain. Dengan kata lain makna juga bisa berarti kata-kata yang dihubungkan
dengan sebuah kata dalam kamus. Makna mempunyai peranan penting dalam sebuah
bahasan ataupun percakapan.
3.2 Saran
Sebagai warga Negara Indonesia
seharusnya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik untuk berkomunikasi
sehari-hari. Rusaknya tatanan bahasa Indonesia dilakukan oleh warga Negara
Indonesia sendiri yang sangat acuh tak acuh dengan bahasa nasional mereka
sendiri. Banyak faktor penyebab rusaknya bahasa Negara Indonesia diantaranya kurangnya
kesadaran masyarakat kita akan pentingnya bahasa Indonesia.
Sebagai warga Negara Indonesia yang
baik, alangkah baiknya menggunakan bahasa
Indonesia ketika berkomunikasi dengan sesama warga Indonesia sendiri, tanpa
perlu dicampur aduk dengan bahasa asing. Tidak hanya menggunakan bahasa yang
tepat, alangkah baiknya pula jika mempelajari seluk beluk bahasa Indonesia agar
tidak terjajah oleh warga asing yang tinggal di Indonesia.
DAFTAR
RUJUKAN
Chaer, Abdul.
2002. Pengantar Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul.
1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Djajasudarma,
T. Fatimah. 1999. Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Rafika
Aditama
Heatherington,
Madelon E. 1980. How Language Works. Cambridge, Massachusetts: Winthrop
Publishers, Inc.
Tarigan,
Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa Cipta
J.W.U.,
Verhaar. 1981. Pengantar Linguistik I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
J.W.U.,
Verhaar. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Press
MAKALAH SEMANTIK: “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.”
Reviewed by agustin
on
Mei 09, 2017
Rating:
Tidak ada komentar