MAKALAH SEMANTIK: “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.”



                                                                            BAB I                                                               
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam mempelajari ilmu bahasa, ada empat komponen penting dalam sebuah pembelajaran bahasa yang harus diketahui dan dipelajari oleh para pelajar yang tengah mendalami ilmu bahasa. Empat komponen tersebut adalah fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Dari keempat cabang ilmu tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu tata bahasa (gramatika) atau struktur bahasa dan di luar gramatika atau di luar struktur bahasa. Cabang ilmu bahasa yang mencakup tata bahasa atau struktur bahasa (gramatika) adalah morfologi dan sintaksis. Morfologi mempelajari tentang seluk-beluk kata sedangkan sintaksis mempelajari bagian yang lebih besar dari kata yaitu frasa, klausa, dan kalimat.
Cabang ilmu bahasa yang tidak termasuk pada struktur bahasa adalah fonologi dan semantik. Fonologi adalah sebuah cabang ilmu bahasa yang meneliti fonem atau bunyi-bunyi bahasa. Sedangkan semantik adalah sebuah ilmu bahasa yang mempelajari tentang makna, baik makna kata, makna frausa, makna klausa, makna kalimat, maupun makna wacana sebagai satuan bahasa yang lengkap.
Dalam mata kuliah semantik mencakup pembahasan tentang teori semantik secara umum dan sistem makna bahasa Indonesia. Adapun keseluruhan bahasan dalam ilmu semantik sebagai berikut; hakikat makna kalimat, cakupan studi semantik, ragam makna, struktur makna leksikal, relasi makna, perubahan makna leksikal, dan makna dan penggunaan bahasa. Dalam makalah ini akan membahas tentang, “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.”






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ragam Makna
              Beberapa makna kata dalam Bahasa Indonesia, menurut Chaer (1990:61-62) dapat dibedakan berdasarkan beberapa sudut pandang. Makna kata berdasarkan semantiknya dapat dibedakan makna leksikal dan makna gramatikal. Kalau makna kata didasarkan pada referennya, dibedakan antara makna referensial dan nonreferensial. Bila berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada kata/leksem, ada makna denotatif dan konotatif, serta makna-makna kata yang lain. Berikut ragam makna yang dimaksud, ialah :
2.1.1 Makna Leksikal
              Pengertian makna leksikal ialah makna yang sesuai dengan referennya, atau makna yang sesuai dengan fungsi alat indera. Misalnya, kata tikus. Tikus memunyai makna leksikal sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan penyakit pes. Makna tersebut Nampak jelas pada kalimat Tikus itu mati diterkam kucing. Adapun tikus pada kalimat Tikus berkepala hitamlah yang mencuri minyak di gudang, bukan merupakan makna leksikal kata, karena merujuknya pada manusia yang perbuatannya mirip dengan tikus. Jadi, makna leksikal adalah gambaran nyata tentang suatu konsep seperti yang dilambangkan kata tersebut. Tanpa melihat dari konteks kalimatnya, makna leksikal sudah sangat jelas dapat dipahami.
              Tidak semua kata bermakna leksikal. Kata tugas seperti dan, dalam, dan karena tidak memiliki makna leksikal, sebab hanya memiliki tugas gramatikal.
2.1.2 Makna Gramatikal
              Makna gramatikal adalah makna yang disebabkan adanya proses afiksasi, reduplikasi, dan komposisi. Makna suatu kata baru dapat dipahami bila berada dalam suatu konteks kalimat.
              Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, memunyai makna “dapat”. Lain dengan kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas, menimbulkan makna gramatikal “tidak disengaja”.Awalan ter- baru memiliki makna bila sudah berproses dengan kata lain. Seperti contoh di atas, awalan ter- yang berproses dengan kata “angkat” memiliki kemungkinan makna 1) dapat dan 2) tidak disengaja.Kepastian maknanya baru diperoleh bila ada dalam konteks kalimat (lihat contoh kalimat sebelumnya). Dengan demikian, makna gramatikal selalu berkenaan dengan struktur ketatabahasaan disebabkan proses dan satuan-satuan gramatikal.
              Proses reduplikasi atau pengulangan merupakan makna jamak dalam bahasa Indonesia. Kata buku yang bermakna “sebuah buku” menjadi buku-buku yang bermakna banyak buku. Berdasarkan hal tersebut, perubahan makna dari tunggal (satu) menjadi jamak (banyak) disebabkan suatu kata mengalami proses reduplikasi (pengulangan).
              Proses komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa Indonesia, juga dapat menimbulkan makna baru. Makna gramatikal dari komposisi sate ayam tidak sama dengan komposisi sate Madura. Yang pertama, sate ayam, menyatakan asal bahan, sedangkan sate Madura, menyatakan asal tempat. Begitu pula dengan komposisi “anak asuh” dengan “orang tua asuh”. Yang pertama menyatakan “anak yang diasuh”, sedangkan yang kedua berarti “orang tua yang mengasuh”.
2.1.3 Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
              Perbedaan dua makna ini berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila suatu kata memunyai referen atau sesuatu di luar bahasa yang diacu kata tersebut, maka suatu kata bermakna referensial. Jika suatu kata tidak memunyai referen, maka kata tersebut bermakna nonreferensial.Contohnya, kata meja dan kursi, memiliki referen yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi. Jadi, kata meja dan kursi bermakna referensial. Adapun kata-kata yang termasuk preposisi, konjungsi, dan kata tugas lainnya, tidak memiliki referen, sehingga bermakna nonreferensial.
2.1.4. Makna Denotatif dan Konotatif
              Pembedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak adanya nilai rasa. Setiap kata memunyai makna denotatif, tetapi tidak semuanya memiliki makna konotatif. Hal tersebut disebabkan kata yang bermakna denotatif tidak memiliki nilai rasa, sedangkan kata bermakna konotatif itulah yang memunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif.
              Kata bermakna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial, karena sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, dan lain-lain. Makna denotasi sering dikatakan sebagai makna sebenarnya. Sebagai contoh kata wanita dan perempuan, sama-sama bermakna manusia dewasa bukan laki-laki. Makna tersebut adalah makna denotasi. Begitu pula dengan kata gadis dan perawan, sama-sama bermakna denotasi wanita yang belum bersuami. Kata wanita dan perempuan atau gadis dan perawan, bila ditinjau dari makna konotatif, keduanya memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata wanita dan gadis, memiliki nilai rasa yang tinggi atau positif. Kata wanita dan gadis, lebih menunjukkan peran dalam kehidupan yang tidak kalah dengan laki-laki dan mengarahkan hal-hal berkemajuan. Lain halnya dengan kata perempuan dan perawan, nilai rasanya rendah karena makna dua kata tersebut berhubungan dengan jenis kelamin. Perbedaan nilai rasa antara wanita dan perempuan lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut :
Wanita
perempuan
1. Berpendidikan lebih
2. Modern dalam segala hal
3. Kurang berperasaan keibuan (makna tambahan)
4. Malas ke dapur (makna tambahan)
1. Pendidikan kurang
2. Tidak atau kurang modern
3. Berperasaan keibuan (makna tambahan)
4. Rajin ke dapur (makna tambahan)
 Positif dan negatifnya nilai rasa (makna tambahan) seringkali terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata tersebut sebagai perlambang. Jika digunakan sebagai lambing sesuatu yang positif, akan bernilai positif. Begitu pula sebaliknya, jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang negatif akan bernilai rasa negatif. Pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat, sebenarnya dapat dikatakan yang menyebabkan timbulnya lambang positif dan negatif tersebut. Bisa jadi kelompok orang Jawa Tengah menilai perempuan lebih tinggi nilai rasanya, karena lebih memerlihatkan kodrat, tapi kelompok orang Jawa Barat lebih menyukai makna wanita, yang mungkin lebih menghargai seorang perempuan yang dapat berperan lebih banyak walaupun terkadang tidak memerdulikan kodratnya.
2.1.5      Makna Kata dan Makna Istilah   
              Pembedaan makna kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata tersebut dalam penggunaannya.  Kata yang digunakan secara umum digunakan ketika berbahasa, merupakan makna kata. Penggunaannya secara umum seringkali tidak cermat. Lain halnya dengan  kata yang digunakan secara khusus, berkaitan dengan bidang kegiatan tertentu, dikatakan sebagai makna istilah .
              Makna kata walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat bersifat umum. Makna kata tersebut baru jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata itu menjadi umum dan kabur. Contohnya kata tahanan. Kata tersebut bermakna orang yang ditahan, bisa juga hasil perbuatan menahan, atau mungkin ada makna lainnya.
              Berbeda dengan istilah, makna kata yang digunakan tetap dan pasti. Hal itu disebabkan istilah hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Kata tahanan sebagai istilah dalam bidang hukum, sudah pasti berarti orang yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara kriminal atau perdata. Jika kata tahanan sebagai istilah dalam bidang kelistrikan, maknanya daya yang menahan arus listrik.
              Istilah yang sudah menjadi unsur leksikal bahasa umum disebut istilah umum. Frekuensi pemakaiannya dalam bahasa sehari-hari cukup tinggi. Contoh istilah umum ialah akomodasi, deposito,pakar, canggih, mantan, dan sebagainya. Tetapi kata-kata seperti debil, klorofil, vektor, variabel masih tetap sebagai istilah yang penggunaannya terbatas pada bidang ilmu yang terkait. Beberapa makna kata sebagai istilah, juga dibuat tepat untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Contohnya, dalam bidang ilmu kedokteran, istilah tangan dan lengan memunyai perbedaan. Tangan adalah pergelangan sampai ke jari-jari, sedangkan lengan dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
              Adapun deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal merupakan perbedaan kata sebagai makna umum dan kata dengan makna khusus (makna yang lebih terbatas). Kata besar adalah kata bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas daripada kata agung, akbar, raya, dan kolosal. Misalnya, frase rapat akbar dapat diganti dengan rapat besar.
2.1.6 Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
              Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan makna kata dengan makna kata lain. Pengertiannya, makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, referennya, dan bebas dari asosiasi atau hubungan apa pun. Makna konseptual dapat disamakan dengan makna referensial, leksikal, dan denotatif. Lain halnya dengan makna asosiatif, yaitu makna sebuah kata yang berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna suci atau kesucian, atau kata merah yang berasosiasi makna berani.
              Mendalami makna asosiasi, sesungguhnya sama dengan lambing-lambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep. Mengacu pada contoh kata melati dan merah, maka melati digunakan untuk lambang kesucian, sedangkan merah sebagai lambang keberanian.
              Leech (1976) dalam Chaer (1990: 74-75) secara garis besar memasukkan makna konotatif, stilistik,afektif, refleksi, dan kolokatif sebagai bagian dari makna asosiatif. Makna asosiasi berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup dalam masyarakat bahasa yang berarti juga berkait dengan nilai rasa bahasa, sehingga makna konotatif masuk ke dalam makna asosiasi. Makna stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata karena berkait adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di masyarakat. Makna kata rumah, pondok, istana, keraton, kediaman, tempat tinggal, dan residensi. Kata istana hanya dipakai untuk orang-orang dari keturunan raja, ningrat, atau berpangkat tinggi, tidak sesuai bila dikaitkan dengan orang-orang kampung atau biasa. Begitu pula dengan kata-kata lainnya. Untuk makna afektif, berkaitan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi, baik terhadap lawan bicara maupun objek yang dibicarakan.Makna ini lebih terasa bila dituturkan dalam bahasa lisan. Contohnya :
a. “Tutup mulut kalian!” (membentak dan bahasa terasa kasar).
b. “Coba, mohon diam sebentar!” (pemakaian bahasa halus dan meminta dengan baik).
Makna kolokatif dalam makna asosiasi, berkaitan dengan makna kata yang memunyai “tempat” yang sama dalam sebuah frase. Dapat dikatakan gadis itu cantik, pemuda itu tampan, dan bunga itu indah, tetapi kita tidak dapat gadis itu tampan, pemuda itu cantik, dan bunga itu molek. Masing-masing memunyai keterikatan dalam frase.
2.1.7 Makna Idiomatikal dan Peribahasa
              Makna idiom tidak berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya. Hal tersebut sesuai dengan pengertian idiom, yakni satuan-satuan bahasa (kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diperkirakan dari makna leksikal unsure-unsurnya maupun makna gramatikalnya. Dicontohkan kata-kata ketakutan, kesedihan, keberanian , dan kebimbangan, menurut kaidah gramatikal memiliki makna hal yang disebut bentuk dasarnya.Tetapi kata kemaluan, bermakna lain, tidak memiliki makna gramatikal. Kata tersebut bermakna idiomatikal, yakni alat kelamin laki-laki atau perempuan.
              Dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia, yaitu idiom sebagian dan penuh. Idiom penuh ialah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contohnya, membanting tulang dan meja hijau. Lain dengan idiom sebagian yang masih memiliki makna leksikalnya sendiri, seperti koran kuning yang berarti koran yang seringkali memuat berita sensasi.
              Makna peribahasa berbeda dengan makna idiom. Perbedaannya, makna peribahasa berkaitan dengan asosiasi. Misalnya, ada dua orang yang selalu bertengkar, dapat dimaknai dalam peribahasa bagai anjing dan kucing. Sebenarnya peribahasa tersebut mengingatkan kita bahwa anjing dan kucing memang binatang yang tidak pernah rukun.
2.1.8 Makna Kias
              Makna kias merupakan oposisi dari arti sebenarnya. Tidak merujuk pada arti sebenarnya. Misalnya, raja siang bermakna matahari, atau kata bunga dalam kalimat Amanah adalah bunga di desa kami berarti gadis cantik. Makna kiasan sangat berkaitan dengan kiasan, perbandingan, atau persamaan.

2.2 Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia   
Relasi makna dalam bahasa Indonesia adalah hubungan arti kata dalam sebuah kalimat. Relasi makna dalam bahasa Indonesia dibagi menjadi beberapa, diantaranya adalah sinonim, antonim, homonim, hiponim, hipernim, homofon, polisemi, ambiguitas dan redundansi. Berikut ini akan dibahas masalah-masalah tersebut satu per satu.
2.2.1        Sinonim
Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari dua kata yaitu, onoma yang berarti ‘nama’, dan ‘syn’ yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau dua hal yang sama’, sedangkan secara semantis, sinonim dapat didefinisikan sebagai ungkapan (dapat berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Contoh:
Buruk dan jelek rupa adalah dua buah kata yang bersinonim,
Bunga, kembang dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim,
Mati, wafat, meninggal dan mampus adalah empat buah kata yang   bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk bersinonim dengan kata buruk.

Pada definisi di atas tersirat “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata
yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja, kesamaannya tidak bersifat mutlak (Agusta 1971:89, Ullman 1972:141). Kesamaannya bersifat tidak mutlak karena dalam semantik ada prinsip umum yang mengatakan bahwa jika bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga dengan kata-kata yang bersinonim, makna katanya pun tidak persis sama. Hal ini disebabkan karena bentuknya tidak sama sehingga berpengaruh pada makna kata tersebut, walaupun kata-kata tersebut bersinonim.
Kata- kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang sama persis sama, sehingga kata-kata tersebut tidak selalu dapat saling menggantikan kedudukan masing-masing kata dalam sebuah kalimat yang berbeda, misalnya, kata mati dan meninggal yang memiliki makna kata yang sama. Tetapi dalam konteks sebuah kalimat, dua kata yang bersinonim tersebut memiliki kedudukan kata yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari contoh di  bawah ini:
-Meninggal: Ayah Ani sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu.
-Mati: Tikus itu mati diterkam kucing liar.
Dua buah kata tersebut sebenarnya bermakna kata sama, yaitu sudah tidak bernyawa, akan tetapi dalam penggunaannya dalam sebuah kalimat sangat berbeda. Meninggal dalam konteks bahasa Indonesia hanya boleh digunakan untuk manusia, sedangkan mati bisa digunakan untuk manusia dan hewan, tetapi umumnya hanya digunakan untuk hewan. Mengapa demikian? Karena kedudukan kata meninggal lebih tinggi daripada mati. Jadi, kedua kata tersebut tidak dapat saling menggantikan walaupun bermakna kata sama.
Penjelasan tentang dua kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama dapat memacu timbulnya pertanyaan seperti ini, lalu apakah yang sama dari dua kata yang bersinonim tersebut? Menurut teori Verhaar yang sama adalah informasinya; padahal jika kita analisa lagi, informasi bukanlah sebuah makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat bersifat intralingual.
Ketidakmungkinan untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:
a.         Faktor waktu
Hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Kedua kata tersebut bersinonim tetapi tidak dapat dengan mudah dipertukarkan. Hal ini disebabkan karena kata hulubalang hanya cocok digunakan pada situasi kuno, klasik. Sedangkan kata komandan hanya cocok digunakan untuk situasi masa kini (modern).
b.                  Faktor tempat atau daerah
Kata saya dan beta. Dua kata tersebut bersinoim, tetapi tidak dapat digunakan secara sembarangan. Dua kata yang bersinonim ini tidak dapat saling menggantikan kedudukan masing-masing. Kata beta memang mempunyai arti “saya”, tetapi kata beta hanya cocok digunakan untuk wilayah Indonesia bagian timur (Maluku). Sedangkan kata saya bias digunakan di wilayah amanapun, karena kata tersebut bersifat umum dan sudah banyak dimengerti oleh orang.
c.                   Faktor sosial
Misalnya kata saya dan aku. Kata saya dan aku merupakan dua kata yang bersinonim dan dapat saling menggantikan kedudukan masing-masing, yang membedakan adalah status sosial. Kata ‘Aku’ adalah kata yang hanya dapat digunakan pada teman sebaya dan tidak dapat digunakan untuk orang yang lebih tua atau lebih tinggi status sosialnya. Sedangkan kata ‘Saya’ bersifat umum dan dapat digunakan oleh segala usia. Kata saya terdengar lebih halus dan sopan jika digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
d.                  Faktor bidang kegiatan
Misalnya kata tasawwuf, kebatinan, dan mistik. Adalah tiga buah kata yang bersinonim. Akan tetapi ketiga kata tersebut berbeda penggunaannya sehingga makna dari ketiga kata tersebut agak sedikit berbeda. Kata tasawwuf lazimnya digunakan dalam agama islam, sedangkan kata kebatinan untuk hal yang tidak berhubungan dengan islam dan kata mistik lebih bersifat umum.
e.                   Faktor nuansa makna
Misalnya kata bekas dan mantan. Kedua kata tersebut bersinonim hanya saja nuansa
maknanya berbeda. Kata bekas lazim digunakan untuk apa saja sedangkan kata mantan hanya lazim digunakan dalam hal-hal tertentu, contohnya bekas rumah, bekas teman, bekas pacar dsb. Sedangkan mantan hanya cocok seperti contoh kata mantan presiden, mantan rektor, mantan menteri, dsb.
Mengenai sinonim dalam bahasa Indonesia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia tidak semua bersinonim, kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian, misalnya kata benar dan betul, tetapi kata kebetulan tidak sama dengan kebenaran. Dua kata tersebut bemakna beda. Ketiga, ada kata-kata yang tidak bersinonim pada bentuk dasar tetapi bersinonim pada bnetuk jadian, misalnya kata pimpin. Kata pimpin tidak bersinonim, tetapi jika kata memimpin ada sinonimnya yaitu membimbing, menuntun, mengetuai, dan menunjukkan. Keempat, ada kata-kata yang “dalam arti sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya saja kata hitam. Hitam dalam arti yang sebenarnya adalah sebuah warna, yang tidak ada sinonimnya sama sekali. Tetapi jika dalam arti kiasan hitam memiliki banyak arti seperti mesum, gelap, buruk, jahat dan tidak menentu.

2.2.2        Antonim dan Oposisi
Antonim dalam bahasa Indonesia berarti “lawan arti kata”. Jika sinonim adalah persamaan arti kata, sedangkan antonym adalah lawan arti kata. Antonym berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu onoma yang artinya nama dan anti yang artinya melawan. Maka secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula. Seacra semantic, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya saja kata tinggi berantonim dengan kata rendah, kata panjang berantonim dengan kata pendek, dsb.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa: Tataran morfem, tataran kata, tataran frase dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia, untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada, sedangkan dalam bahasa inggris sering kali kita jumpai contoh kata thankful dengan thankless, di mana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, di mana pro dan re- yang juga berantonim; juga antara bilingual dengan monolingual, di mana bi- dan mono juga berantonim.
Pada hakikatnya, antonim sebenarnya sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan “..yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi hanya dianggap kebalikan, bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bias tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja. Misalnya saja kata hidup dan mati adalah contoh kata yang berlawanan; hitam dan putih merupakan contoh kata yang hanya berkontras saja. Berdasarkan sifanya, oposisi dapat dibedakan menjadi:
1.                Oposisi Mutlak
Pada oposisi mutlak, terdapat pertentangan secara mutlak. Umpamanya kata hidup dan mati. Antara kata hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati tetapi sesuatu yang mati tidak akan hidup lagi.
2.                Oposisi Kutub
Makna kata-kata yang termasuk pada oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang miskin belum tentu tidak kaya. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
3.              Oposisi Hubungan
Makna kata-kata yang bersifat hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata lain yang menjadi oposisinya, tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Misalnya saja kata menjual dan membeli. Kedua kata ini memang berlawanan tapi proses kejadiannya berlaku serempak.

4.                Oposisi Hierarkial
Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan. Oleh karena itu kata –kata yang beroposisi hirearkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat,panjang dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dsb. Misalnya satuan meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang.
5.                 Oposisi Majemuk
Oposisi majemuk adalah oposisi yang memiliki lebih dari satu kata, misalnya berdiri beroposisi dengan duduk, berbaring, tiarap dan berjongkok.
2.2.3                       Homonim, Homofon, Homograf
Homonim secara harfiah adalah nama yang sama untuk benda atau hal lain. Kata homonym berasal dari bahasa Yunani yaitu onoma yang berarti nama dan homo yang berarti sama. Secara semantic Veerhar (1978) mendefinisikan homonym sebagai ungkapan (berupa kata atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain juga (juga berupa frase, kata atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Misalnya saja kata bisa. Kata bisa dapat dijadikan arti sebagai pertama bisa yang artinya dapat, sedangkan bisa yang kedua artinya racun ular. Bagamana dapat terjadi bentuk-bentuk homonim? Ada dua kemungkinan penyebabnya, diantaranya adalah. Pertama, bentuk-bentuk berhomonim itu berasal sari bahasa dialk yang berlainan. Misalnya ‘bisa’ berasal dari daerah Melayu, sedangkan kata ‘bisa’ yang artinya sanggup berasal dari bahasa Jawa. Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi, contoh: ibu mengukur kelapa di dapur adalah berhomonim dengan kata petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me-pada kata kukur (me+kukur mengukur); sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me+ ukur mengukur).
Selain homonim ada pula istilah homofon dan homograf. Homofon artinya dua kata yang berbeda tetapi sama pelafalannya. Misalnya saja kata bang dan bank. Kata bang merupakan bentuk singkat dari panggilan abang yang artinya kakak laki-laki, sedangkan kata bank adalah sebuah lembaga yang mengurus lalu lintas uang. Selain homofon dan homonim ada juga homograf di mana yang berarti dua kata yang sama tulisannya tetapi berbeda bunyi. Misalnya saja kata apel dengan apel. Kata apel yang pertama adalah nama buah-buahan sedangkan apel yang kedua artinya kencan.
  
2.2.4                       Hiponim dan Hipernim
Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘onoma berarti nama dan ‘hypo’ berarti ‘di bawah’. Jadi, secara harfiah hiponim adalah ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantic Veerhar (1978:137) menyatakan bahwa hiponim adalah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Umpamanya kata mawar dan bunga, mawar berhiponim pada bunga karena makna mawar berada atau di dalam kata bunga. Mawar memang bunga tetapi bunga bukan hanya mawar saja melainkan juga termasuk melati, kamboja, raflesia, anggrek, dsb.
2.2.5        Polisemi
Polisemi adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya saja kata kaki, kata kaki bisa beragam makna tergantung pada konteks kata atau frasenya. Kata kaki bisa dibagi menjadi beberapa kata seperti kaki gunung, kaki bukit, kaki meja. Kata kaki sendiri merupakan bagian dari anggota tubuh yang letaknya berada di bawah. Hal itu juga berfungsi sama dengan kata kaki gunung, kaki bukit dan kaki meja. Kata kaki pada ketiga contoh kata tersebut menunjukkan bahwa kaki adalah sesuatu yang terletak di bawah.                                                                                                                                               
Bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang yang memiliki makna lebih dari satu. Polisemi sendiri adalah sebuah kata sehingga dalam kamus besar bahasa Indonesia polisemi didaftarkan sebagai sebuah entri. Perbedaan antara polisemi dan homonim, pada homonim makna-makna pada bentuk-bentuk tidak ada kaitan atau hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan pada polisemi, makna-makna pada kata yang berpolisemi masih ada hubungannya karena memang dikembangkan dari kompone-komponen makna kata-kata tersebut.
2.2.6        Ambiguitas
Ambiguitas adalah kata yang bermakna ganda yang berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat yang terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Misalnya frase buku matematika baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku matematika itu baru terbit, atau (2) buku itu berisi matematika dengan cara-cara terbaru dalam menyelesaikan masalah-masalah yang tersedia. Dalam bahasa lisan, penafsiran ganda tidak akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Sedangkan dalam bahasa tulisan, penafsiran ganda banyak kemungkinan terjadi karena dapat saja terjadi penanda-penanda ejaan yang tidak lengkap diberikan. Ambiguitas dan homonim merupakan makna kata yang hampir mirip bentuknya, yang membedakan homonym dengan ambiguitas adalah jika homonym dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda sedangkan ambigutas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase sedangkan homonim dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morefem, kata, frase, dan kalimat).

2.2.7    Redundansi
Istilah redundansi lazim diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu ujaran’. Misalnya kalimat Bola ditendang si Udin, maknanya tidak akan berubah jika kalimat tersebut diubah menjadi bola ditendang oleh si Udin. Pemakaian kata oleh pada kalimat yang kedua merupakan sebuah redundansi, karena sebenarnya pada kalimat kedua tidak perlu menggunakan kata oleh. Secara semantik menyatakan masalah redundansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Jadi, kalimat bola ditendang si Udin akan tampak berbeda maknanya dengan bola ditendang oleh si Udin. Hal itu disebabkan karena pada kalimat yang kedua lebih menonjolkan makna pelaku (agentif) pada kalimat yang pertama. Akan tetapi Chaer (1990:109) menyatakan sesungguhnya yang mengatakan pemakaian kata oleh dalam contoh kalimat yang kedua adalah sebuah redundansi, yang mubazir merupakan pernyataan yang keliru atau mengacaukan pengertian makna dan informasi. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran(utterance-external). Jadi, yang sama antara kalimat yang pertama dengan yang kedua adalah informasinya bukan maknanya.
2.3  Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia
2.3.1 Sebab-Sebab Perubahan Makna Kata
          Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna kata, yaitu :
2.3.1.1 Perkembangan dalam Bidang Ilmu dan Teknologi
          Perubahan makna kata yang disebabkan berkembangnya ilmu dan teknologi, lebih tepat disebabkan timbulnya pandangan-pandangan baru terhadap suatu konsep atau teori. Sebuah kata yang semula bermakna sesuatu yang sederhana menjadi makna yang mewakili pandangan baru. Contohnya, makna kata sastra yang semula berarti tulisan, berkembang menjadi karya imajinatif. Pandangan baru atau teori baru tentang sastra, mengubah makna kata sastra yang semula buku yang baik isi dan bahasanya menjadi karya yang bersifat imajinatif kreatif.
2.3.1.2 Perkembangan Sosial dan Budaya
          Perubahan makna kata dapat terjadi dalam bidang sosial kemasyarakatan. Perubahan tersebut disebabkan adanya perbedaan kedudukan, derajat atau status sosial, suku, tingkat pendidikan ,dan lainnya yang masih berkait. Contohnya, kata sarjana dalam bahasa jawa kuno diartikan orang pandai atau cendekiawan, tetapi sekarang sudah berubah menjadi orang yang sudah lulus dari perguruan tinggi, walaupun barangkali dengan indeks prestasi ala kadarnya. Perubahan makna tersebut berarti juga seseorang tidak akan dipanggil sarjana walaupun pandai, tapi tidak lulus dari perguruan tinggi.
2.3.1.3Perbedaan Bidang Pemakaian
          Perubahan makna kata dapat disebabkan dalam setiap bidang kehidupan atau kegiatan, memiliki kosa kata tersendiri. Kosa kata dalam bidang pertanian akan berbeda dengan bidang agama, contohnya. Bidang pertanian menggunakan kata-kata benih, menuai, menggarap, menanam, pupuk, dan sebagainya. Bidang agama menggunakan kata-kata halal, haram,imam, sholat, zakat, dan lain-lain. Selanjutnya, kosa kata dalam bidang tertentu juga dapat digunakan secara umum. Hal tersebut dapat dicontohkan dari kata menggarap yang berasal dari bidang pertanian, sehingga timbul frase menggarap sawah, kini banyak dipakai oleh bidang-bidang lain dengan makna mengerjakan, seperti menggarap generasi muda. Kata menggarap menjadi berbeda maknanya ketika digunakan dalam bidang yang lain, tidak seperti makna dalam bidang pertanian. Tetapi makna baru menggarap dalam bidang lain, masih berkaitan dengan makna asalnya. Makna yang baru digunakan secara metaforis, sedangkan makna asal tidak.

2.3.1.4 Adanya asosiasi
          Perubahan makna kata yang disebabkan asosiasi, masih berhubungan dengan makna asal kata dalam bidang tertentu dengan makna kata yang baru dalam bidang yang lain. Makna baru yang timbul berkaitan dengan hal atau peristiwa lain yang berkenaan dengan kata tersebut. Kata amplop yang berasal dari bidang administrasi atau surat-menyurat, makna asalnya adalah sampul surat. Ternyata penggunaan amplop tidak hanya sebagai sampul surat, tetapi dapat menjadi “wadah” benda lain, seperti uang. Akhirnya, makna kata amplop dapat berubah menjadi uang, yang secara umum berarti penghargaan atas jasa yang sudah dilakukan (positif) atau uang sogokan (negatif). Asosiasi terjadi  antara amplop dengan uang karena berkenaan dengan wadah. Yang disebutkan wadahnya, yaitu amplop, tetapi yang dimaksudkan adalah isinya, yaitu uang.
2.3.1.5 Pertukaran Tanggapan Indera
          Perubahan makna kata yang disebabkan adanya pertukaran tanggapan indera, berarti adanya penggunaan kata dalam berbahasa yang berbeda dengan fungsi indera sebenarnya. Bila melihat fungsi indera pengecap, misalnya, maka rasa pahit, getir, manis, asin, pedas harus ditanggap. Namun dalam penggunaannya, rasa-rasa tersebut dapat ditanggap oleh indera lainnya. Contoh kalimat yang dapat menjelaskan terjadi pertukaran tanggapan indera ialah kata-katanya cukup pedas. Rasa pedas seharusnya ditanggap oleh indera pengecap (lidah), tetapi tertukar menjadi ditanggap indera pendengaran.
2.3.1.6 Perbedaan Tanggapan
          Setiap kata sebenarnya memunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran norma kehidupan di dalam masyarakat, banyak kata yang memiliki nilai rasa yang rendah (kurang menyenangkan) dan nilai rasa yang tinggi (yang mengenakkan). Nilai rasa yang timbul pada suatu kata, bisa berubah lagi dengan adanya perubahan pandangan hidup yang sejalan dengan perkembangan budaya dan kemasyarakatan. Sebagai contoh, kata jamban bernilai rasa rendah, sehingga orang-orang menggantinya dengan kata W.C, tetapi sekarang, kata jamban dipakai lagi dan bermakna lebih baik seperti dalam frase jamban keluarga.
2.3.1.7 Adanya Penyingkatan
          Ada sejumlah kata atau ungkapan dalam Bahasa Indonesia, karena sering digunakan maka ketika tidak diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan, orang sudah dapat memahaminya. Oleh sebab itu, orang lebih sering menggunakan singkatannya saja daripada bentuk utuhnya. Misalnya, kalau diucapkan “Ayahnya meninggal” tentunya yang dimaksudkan adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal adalah bentuk singkat dari ungkapan meninggal dunia.
2.3.1.8 Proses Gramatikal
          Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi akan menyebabkan terjadinya perubahan makna. Namun, sebenarnya yang terjadi bukanlah perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal. Kalau bentuk kata mengalami perubahan maka makna kata pun akan berubah.
2.3.1.9 Pengembangan Istilah
          Adanya pemanfaatan kosa kata bahasa Indonesia dengan cara memberikan makna baru, merupakan suatu upaya untuk mengembangkan atau membentuk istilah baru. Misalnya kata papan yang semula bermakna lempengan kayu tipis, kini diangkat menjadi istilah untuk makna “perumahan”. Yang lainnya, kata “teras” yang semula bermakna inti kayu atau saripati kayu, kini digunakan sebagai unsur pembentuk istilah untuk makna “utama” atau “pimpinan”, seperti frase pejabat teras yang berarti pejabat utama atau pejabat yang merupakan pimpinan.
2.4  Jenis-Jenis Perubahan Makna
 Perubahan makna dalam bahasa Indonesia beragamam seperti halnya relasi makna dalam bahasa Indonesia. Perubahan makna dibagi menjadi beberapa bagian yaitu generalisasi (perluasan makna), spesialisasi (penyempitan makna), ameliorasi (peninggian makna), peyorasi (penurunan makna), sinestesia (pertukaran makna), dan asosiasi (persamaan makna). Semua macam perubahan makna tersebut akan dibahas secara rinci seperti di bawah ini
2.4.1 Generalisasi
Generalisasi atau perubahan makna secara luas yaitu suatu proses perubahan makna kata dari kata yang lebih khusus ke kata yang lebih umum, atau dari makna kata yang sempit ke makna kata yang lebih luas. Atau dengan kata lain makna saat ini lebih luas cakupannya daripada makna di masa lampau. Chaer (1990:145) menyatakan bahwa perubahan makna yang meluas artinya gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya  hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena berbagai faktor, makna tersebut menjadi makna-makna lain. Misalnya saja kata saudara, pada tempo dulu kata saudara bermakna seperut, sekandungan. Kemudian berkembang menjadi siapa saja yang sepertalian sedarah. Akibatnya, anak paman pun disebut saudara. Semakin berkembang zaman, berkembang pula sebutan saudara hingga saat ini. Bahkan saat ini siapapun dapat dipanggil saudara walaupun tidak ada ikatan darah sekalipun, contoh:
a.             Saudara saya ada delapan orang
b.             Surat saudara sudah saya terima
c.            Sebetulnya dia masih saudara saya, tetapi sudah agak jauh
      
Pada kalimat awal (a) kata saudara di sini adalah orang yang masih sedarah, pada kalimat yang kedua (b) kata saudara di sini adalah sapaan yang lebih sopan kepada orang lain sebagai rasa hormat, sedangkan pada kalimat yang ketiga (c) kata saudara di sini menunjukkan tentang seseorang yang masih ada hubungan keluarga walaupun bukan hubungan sedarah dan pada kalimat yang terakhir (d) kata saudara di sini adalah kata sapaan kepada orang lain agar tidak terlalu kaku dan terlihat lebih akrab.
2.4.2 Spesialisasi                             
Spesialisasi adalah sebuah proses perubahan makna dari kata umum ke kata yang khusus. Aatau dengan kata lain spesialisasi atau penyempitan adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas kemudian berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya saja kata sarjana. Pada zaman dulu kata sarjana dapat disandang oleh orang-orang yang pandai atau cendekiawan, tetapi pada saat ini. Kata sarjana pada saat ini hanya dpat disandang oleh orang-orang yang telah lulus dari perguruan tinggi. Orang yang cerdas sekalipun jika dia tidak lulus dari perguruan tinggi, maka dia tidak akan disebut sarjana, tetapi beda halnya dengan orang yang telah lulus dari perguruan tinggi walaupun dengan indeks prestasi rendah orang tersebut tetap disebut sarjana. Itulah salah satu contoh dari spesialisasi.
2.4.3 Ameliorasi
Kata ameliorasi berasal dari bahasa latin yaitu melior yang artinya ‘lebih baik’ berarti membuat menjadi ‘lebih baik, lebih tinggi, lebih anggun, lebih halus’. Dengan kata lain, ameliorasi mengacu pada peningkatan makna kata; makna baru dianggap lebih baik atau lebih tinggi nilainya daripada dulu. Kita ambil contoh yang sederhana saja, kata wanita dengan perempuan. Pemakaian kata wanita pada saat ini dirasa lebih sopan untuk digunakan daripada kata perempuan. Demikian pula halnya beberapa contoh pasangan kata-kata berikut ini:
Istri       – lebih baik, lebih hormat daripada bini
Suami   – lebih baik, lebih hormat daripada laki
Pria       – lebih baik, lebih hormat daripada laki-laki
Hamil    – lebih baik, lebih hormat daripada bunting
Melahirkan  - lebih baik, lebih hormat daridapa beranak
Meninggal dunia – lebih baik, lebih hormat daripada mati
Tunaaksara – lebih baik, lebih hormat daripada buta huruf                             
Tunawicara – lebih baik, lebih hormat daripada bisu
Adapun contoh penggunaan kata-kata tersebut dalam sebuah kalimat seperti di bawah ini:
Istri pak Rusdi adalah seorang perawat senior di rumah sakit ternama di Jakarta (ameliorasi)
Sampai saat ini bang Ali belum juga mempunyai bini.
Jumlah tunaaksara di Indonesia semakin lama semakin berkurang karena sudah banyaknya orang yang mau belajar. (ameliorasi)
Dia tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali sehingga dia buta huruf hingga saat ini.
2.4.4 Peyorasi
Peyorasi adalah sebuah perubahan makna kata menjadi lebih jelek atau menjadi lebih buruk dari makna yang sebelumnya. Kata peyorasi berasal dari bahasa latin yaitu ‘Pejor’ yang artinya buruk atau jelek. Proses perubahan makna peyoratif ini kebalikan dari perubahan makna amelioratif. Sebagai contoh kata mampus dan meninggal. Pada masa lampau, kata mampus merupakan hal yang biasa, tetapi pada saat ini kata mampus tidak tepat digunakan karena terlalu kasar. Pada saat ini kata mampus diganti dengan kata yang lebih halus lagi yaitu meninggal.
2.4.5 Sinestesia
Sinestesia adalah sebuah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat pertukaran tanggapan antara dua indera yang berbeda. Perubahan makna ini disebut sinestesia. Contoh:
Ibu R.A Kartini adalah seorang pejuang wanita yang harum namanya.
Anis bukanlah seorang yang baik, hatinya sangat busuk.
Dua contoh kalimat di atas merupakan contoh perubahan makna sinestesia, di mana kata harum dan busuk sebenarnya adalah tanggapan indera, tetapi dalam konteks kalimatnya kedua kata tersebut bisa digunakan sebagai pertukaran tanggapan.
2.4.6 Asosiasi
Dalam bahasa Indonesia terdapat perubahan makna yang disebut asosiasi. Asosiasi adalah sebuah perubahan makna yang terjadi sebagai akibat persamaan sifat. Untuk lebih memperjelas keterangan di atas, mari kita lihat contoh di bawah ini:
Kursi itu telah lama diidam-idamkan oleh paman Aji. (jabatan)
Saya naik garuda ke Kalimantan. (pesawat)
Dia hanya numpang makan, minum dan tidur di rumah ini tanpa mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Dia memang seorang parasit. (pengganggu)
Ketiga contoh kalimat di atas adalah contoh konkrit dari perubahan makna asosiasi,kita analisa satu per satu contoh-contoh kalimat di atas:
Kursi itu: kursi itu di sini maksudnya adalah jabatan, pangkat, kedudukan.
Naik garuda: naik garuda maksudnya adalah pesawat yang bermerek garuda.
Seorang parasit: seorang parasit maksudnya adalah orang yang selalu merugikan orang lain.
2.5 Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia
Dewasa ini, penggunaan bahasa dalam bahasa Indonesia sebenarnya sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan karena banyak masyarakat kita yang masih tetap mempertahankan tradisi berbahasa yang salah kaprah, di mana masyarakat tetap sangat bersikap acuh tak acuh dengan kesalahan tersebut yang jelas kesalahan-kesalahan tersebut sangat merusak makna dan struktur bahasa Indonesia itu sendiri. Contoh:
Para hadirin sekalian dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera dilaksanakan.
Adik-adikku berebut mainan hingga mereka saling pukul-memukul.
Dua contoh kalimat di atas merupakan kalimat sederhana yang sering digunakan oleh masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari. Padahal tiga contoh kalimat di atas merupakan sebuah kesalah-kaprahan dalam berbahasa. Seharusnya tiga contoh kalimat di atas tersebut menjadi seperti ini:

Para hadirin dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera dilaksanakan.
atau
Hadirin sekalian dipersilahkan memasuki aula agar rapat dapat segera dilaksanakan.


Adik-adikku berebut mainan hingga mereka saling pukul.
atau
Adik-adikku berebut mainan hingga mereka pukul memukul.
Untuk dapat memahami kalimat yang digunakan dalam bahasa Indonesia, maka sebaiknya kita perlu memahami makna kata tersebut agar tidak terjadi salah paham antara si pembicara dan si pendengar. Pengertian makna itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat intrinsic di mana terdapat sebuah hubungan khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda lain. Dengan kata lain makna juga bisa berarti kata-kata yang dihubungkan dengan sebuah kata dalam kamus. Makna mempunyai peranan penting dalam sebuah bahasan ataupun percakapan. Menurut Fries dalam Tarigan (1990:11) makna dibagi menjadi dua bagian yaitu makna linguistik dan makna sosial (kultiral). Ada pendapat lain yang berbeda pendapat tentang pembagian makna, Heatherington (1980:135) menyatakan bahwa makna dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu makna referensial dan makna presedensial. Hearingthon juga berpendapat bahwa makna dibagi menjadi dua yaitu makna leksikal dan makna leksikotruktural. Lebih jauh lagi makna leksikal dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu makna denotative dan makna konotatif. Relasi makna dan perubahan makna merupakan penjabaran dari sebuah penjelasan tentang makna. Dalam bahasa Indonesia relasi makna dibagi menjadi beberapa bagian dan dapat digunakan dalam penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari baik dalam lisan maupun tulisan. Tidak hanya relasi makna saja, akan tetapi terdapat pula perubahan makna dalam bahasa Indonesia, di mana perubahan makna tersebut bisa juga digunakan dalam bahasa lisan maupun tulisan dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Saat ini penggunaan makna dan bahasa dalam bahasa Indonesia tidak hanya terbatas pada lingkup sekolah saja, bahkan orang-orang awam juga sering memakai makna dan bahasa Indonesia dalam kehidupan mereka secara tidak sengaja dan tidak disadari. Untuk penggunaan makna dalam kehidupan sehari-hari, seringnya masyarakat menggunakan perubahan makna yang bersifat peyorasi. Hal itu terjadi karena masyarakat kita sudah terbiasa menggunakan kalimat-kalimat yang bermakna peyorasi, dan merupakan sebuah tradisi yang berurat berakar dalam budaya masyarakat kita, sehingga hal tersebut tidak akan mudah dihilangkan dalam budaya masyarakat sekitar.


BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Jika dilihat dari ilmu semantik, pengertian makna adalah suatu hubungan khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda-benda lain yang bersifat intrinsik. Makna dibedakan menjadi dua bagian yaitu makna linguistic dan makna sosial (kultural), dan dapat juga dibagi atas dua biag yaitu makna leksikal dan makna leksikostruktural. Terdapat relasi makna dan perubahan makna dalam bahasa Indonesia. Relasi makna dalam bahasa Indonesia terbagi atas sinonim, antonim dan oposisi, homonim, homofon, homograf, polisemi, redundansi, hipernim, niponim dan ambiguitas. Sedangkan perubahan makna kata meliputi generalisasi, spesialisasi, ameliorasi, peyorasi, asosiasi, sinestesia. Relasi makna maupun perubahan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dewasa ini, penggunaan bahasa dalam bahasa Indonesia sebenarnya sangat menyedihkan. Hal ini disebabkan karena banyak masyarakat kita yang masih tetap mempertahankan tradisi berbahasa yang salah kaprah, di mana masyarakat tetap sangat bersikap acuh tak acuh dengan kesalahan tersebut yang jelas kesalahan-kesalahan tersebut sangat merusak makna dan struktur Bahasa Indonesia itu sendiri. Untuk dapat memahami kalimat yang digunakan dalam bahasa Indonesia, maka sebaiknya kita perlu memahami makna kata tersebut agar tidak terjadi salah paham antara si pembicara dan si pendengar. Pengertian makna itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat intrinsik di mana terdapat sebuah hubungan khas yang tidak teranalisis dengan hal-hal atau benda lain. Dengan kata lain makna juga bisa berarti kata-kata yang dihubungkan dengan sebuah kata dalam kamus. Makna mempunyai peranan penting dalam sebuah bahasan ataupun percakapan.
3.2 Saran
Sebagai warga Negara Indonesia seharusnya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik untuk berkomunikasi sehari-hari. Rusaknya tatanan bahasa Indonesia dilakukan oleh warga Negara Indonesia sendiri yang sangat acuh tak acuh dengan bahasa nasional mereka sendiri. Banyak faktor penyebab rusaknya bahasa Negara Indonesia diantaranya kurangnya kesadaran masyarakat kita akan pentingnya bahasa Indonesia.
Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, alangkah baiknya menggunakan  bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan sesama warga Indonesia sendiri, tanpa perlu dicampur aduk dengan bahasa asing. Tidak hanya menggunakan bahasa yang tepat, alangkah baiknya pula jika mempelajari seluk beluk bahasa Indonesia agar tidak terjajah oleh warga asing yang tinggal di Indonesia.


                                                                                                              
DAFTAR RUJUKAN
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Rafika Aditama
Heatherington, Madelon E. 1980. How Language Works. Cambridge, Massachusetts: Winthrop Publishers, Inc.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa Cipta
J.W.U., Verhaar. 1981. Pengantar Linguistik I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
J.W.U., Verhaar. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada Press
MAKALAH SEMANTIK: “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.” MAKALAH SEMANTIK: “ Ragam Makna ,Relasi Makna dan Struktur Bahasa Indonesia; Perubahan Makna dalam Bahasa Indonesia; Makna dan Penggunaan Bahasa dalam Bahasa Indonesia.” Reviewed by agustin on Mei 09, 2017 Rating: 5

Tidak ada komentar

Facebook